Friday, June 22, 2018

Flatcap dalam Sejarah Budaya

Dari sekian banyak model topi, ada satu topi yang menarik kami. Bernama Flat cap. Di Indonesia, flat cap di kenal sebagai topi pelukis, topi seniman, topi sutradara, topi pet, dan yang paling konyol dinamakan topi copet.

Di Luar negeri sendiri, Flat cap memiliki sebutan lain, paddy cap, cabbie cap, longshoreman’s cap, scally cap, wigens cap, ivy cap, golf cap, duffer cap, driving cap, bicycle cap, Jeff cap, bunnet, di Wales di kenal dengan Dai cap, dan sementara di Inggris dan New Zealand sering di sebut cheese-cutter.
Bahannya sendiri banyak dibuat dari bahan dasar wol, tweed, kanvas, dan kapas. Sedangkan bahan lain dan variasi flat cap yang lain biasanya berasal dari kulit hewan, atau corduroy. Untuk di bagian dalam topi pada umunya di desain untuk kenyamanan penggunanya, selain untuk unrus kehangatan.
Di Inggris Utara sendiri, topi ini cukup terkenal pada jamannya, sekitar tahun 1910- sampai dengan skrng masih banyak diminati berbagai kalangan baik tua maupun muda. Para imigran Eropa, khususnya Irlandia, Skotlandia dan Inggris terlihat menggunakan flat cap pada saat pertama kali menginjakkan kakinya di Amerika akhir abad 19 dan 20 ketika gelombang imigrasi besar – besaran berlangsung disana. Begitu juga dengan para imigran dari Selatan Itali yang terkenal dengan mafia nya, juga identic dengan flat cap ini.


Dalam budaya popular di Inggris, flatcap biasanya dikaitkan dengan laki – laki kelas pekerja, buruh kasar, gangsters, dan sampai anak kecil tukang loper Koran (Oliver Twist – Newsboys Cap). 









Modernnya sendiri, flatcap atau newboys cap banyak dipakai kalangan seniman, musisi, dan berbagai kalangan dan usia dan salah satu tv series Peaky Blinders 'menghidupkan' kembali tren flatcap.
sumber : rumah topi, Wikipedia.com
image : random dari Instagram #flatcap


EmoticonEmoticon